Mengenai masalah jenazah atau tahlilan
memang banyak kalangan orang islam sendiri masih simpang siur artinya bagaimana
tentang masalah jenazah atau tahlil. Tahlil biasanya orang mengucapkan “Laa
ilaaha illallah”. Jadi mengucapkannya itu bagus, tapi penggunaannya atau
tempatnya, kesempatan itu yang biasanya orang kurang paham. Sehingga kita
dapati ketika ada orang yang meninggal, mereka mengadakan tahlilan. Bahkan
bukan hanya sehari, namun 3, 7 atau 40 hari mengundang orang banyak dan tentu
harus ada jamu dan biaya. Ada suatu cerita di Solo, ada orang yang meninggal.
Intinya mereka mengadakan silaturahmi dengan warga, tetangga dan saudara.
Sehingga ada kesempatan untuk bertukar pikiran untuk mengobrol. Namun acara
resminya yaitu tahlilan. Di kita dikenal Syeikh Abdul Qadir Jaelani yang
dikenal begitu, pada masa-masa awal bagaimana untuk menggairahkan orang-orang
islam ini untuk berdzikir atau membacakan “Laa ilaaha illallah”sampai-sampai
murid-muridnya dengan gerakan-gerakan boleh dikata berirama. Dan itu dibiarkan
oleh Syeikh dengan asumsi atau dengan harapan mereka semakin tertarik dan orang
semakin antusias bertemu, berkumpul atau mengadakan majlis. Yang dikenal majlis
dzikir. Majlis tersebut dijelaskan tentang kebesaran Allah Talaa. Lama-lama tradisi
ini melebihi batas, sampai-sampai tahajjud goyang/tahlilan goyang. Dan itu
mengakar di Indonesia, sehingga ini dianggap biasa.
Tapi kalau kita perhatikan bahwa didalam hadits juga telah
disampaikan oleh Rasulullah saw:
لَقِّنُوامَوْتَاكُمْلاَإِلَهَإِلاَّاللَّهُ
“Ingatkanlah (talqinkanlah) pada orang yang akan
meninggal dunia di antara kalian dengan kalimat laa ilaha illallah (tiada
sesembahan yang berhak disembah selain Allah).” (HR. Muslim, 916, dari Abu
Sa’id Al-Khudri; no. 917, dari Abu Hurairah)
Jadi kita meyakinkan pada orang yang sakaratul maut untuk membaca
yasin atau “Laa Ilaaha Illallah” itu sudah cukup. Dan ini yang biasa kita
lakukan yang sesuai dengan amalan Rasulullah saw. Jadi kalau sudah meninggal
orang itu tidak mengingat lagi. Kadang dalam sakaratul maut dengan isyarat ia
mengikuti apa yang kita ucapkan. Jadi tradisi seeprti ini seharusnya dilakukan
sebelum meninggal. Namun tradisi diatas sudah hal yang biasa dikalangan NU yang
mungkin diperkuat dalil dari ayat atau hadits yang mereka pahami. Cuma secara
garis besar dapat dipahamkan bahwa apa sebenarnya arti dzikir itu. Jadi dzikir
yang terbaik adalah mengucapkan “Laa ilaaha illallah”.
جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ
أَفْضَلُ الذِّكْرِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَفْضَلُ الدُّعَاءِ الْحَمْدُ
لِلَّهِ
Jabir bin ‘Abdullah radhillahu
‘anhuma berkata; saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Sebaik-baik dzikir adalah LAA ILAAHA ILLALLAAH (Tidak ada tuhan yang
berhak disembah kecuali Allâh) dan sebaik-baik doa adalah AL HAMDULILLAAHI
(Segala puji bagi Allâh).” HR Tarmidzi 3305, shahih.
Kemudian kata ini kalau kita lihat dalam Al-Quran
45. Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al
Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-
perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah
lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui
apa yang kamu kerjakan
Nah, sebenarnya dzikir yang terbaik itu dalam shalat, jadi
mengingat Allah itu dalam keadaan shalat. Bukan ketika orang itu meninggal.
Jadi ini adalah masalah waktu yang kurang tepat. Mungkin ada alasan di kalangan
NU. Dan dikatakan di surat Taha ayat 14,
14. Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak)
selain Aku, Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku.
Jadi dzikir dilakukan untuk mengingat-Ku. Atau shalat dilakukan
untuk mengingat-Ku. Jadi makna ayat ini bahwa dzikir yang terbaik itu untuk
mengingat Allah Ta’ala dalam keaadaan shalat. Sehingga dengan shalat kita
semakin dekat dengan Allah Ta’ala. Bahkan dihadits dikatakan
مَثَلُالَّذِيْيَذْكُرُرَبَّهُوَالَّذِيْلَايَذْكُرُرَبَّهُمَثَلُالْحَيِّوَالْمَيِّتِ
“Perumpamaan orang yang berdzikir kepada Tuhannya
dengan orang yang tidak berdzikir kepada Tuhannya bagaikan orang hidup dan
orang mati.” (H.R. al-Bukhari dan Muslim). (121).
Dan
dikatakan oleh Hz 'Umar bin Al Khoththôb rodhiyallôhu 'anhu:
حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا، وَزِنُوها قَبْلَ أَنْ تُوزَنُوا، وَتَأهَّبُوا لِلْعَرْضِ الْأَكْبَر
"Hendaklah kalian menghisab diri kalian sebelum kalian
dihisab, dan hendaklah kalian menimbang diri kalian sebelum kalian ditimbang,
dan bersiap-siaplah untuk hari besar ditampakkannya amal"
Atau shalat adalah amalan yang pertama kali
akan dihisab. Amalan seseorang bisa dinilai baik buruknya dinilai dari
shalatnya. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ العَبْدُ
يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ فَإِنْ صَلَحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ
وَأَنْجَحَ وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسَرَ فَإِنِ انْتَقَصَ مِنْ
فَرِيْضَتِهِ شَيْءٌ قَالَ الرَّبُّ تَبَارَكَ وَتَعَالَى : انَظَرُوْا هَلْ
لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ ؟ فَيُكْمَلُ بِهَا مَا انْتَقَصَ مِنَ الفَرِيْضَةِ
ثُمَّ يَكُوْنُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى ذَلِكَ ” . وَفِي رِوَايَةٍ : ” ثُمَّ
الزَّكَاةُ مِثْلُ ذَلِكَ ثُمَّ تُؤْخَذُ الأَعْمَالُ حَسَبَ ذَلِك
“Sesungguhnya amal hamba yang pertama kali akan
dihisab pada hari kiamat adalah shalatnya. Apabila shalatnya baik, dia akan
mendapatkan keberuntungan dan keselamatan. Apabila shalatnya rusak, dia akan
menyesal dan merugi. Jika ada yang kurang dari shalat wajibnya, Allah Tabaroka
wa Ta’ala mengatakan, ’Lihatlah apakah pada hamba tersebut memiliki amalan
shalat sunnah?’ Maka
shalat sunnah tersebut akan menyempurnakan shalat wajibnya yang kurang. Begitu
juga amalan lainnya seperti itu.” Dalam riwayat lainnya, ”Kemudian zakat akan
(diperhitungkan) seperti itu. Kemudian amalan lainnya akan dihisab seperti itu
pula.” (HR. Abu Daud, Ahmad, Hakim, Baihaqi)
Maka penakarannya dzikir ilahi atau tahlil seharusnya dilaksanakan
sebelum meninggal. Jadi jika kita melaksanakan dzikir pada saat meninggal, maka
tidak sinkron dengan hadits Rasulullah saw dan dikatakan hadits riwayat Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Nasa’i dan
Ahmad:
عَنْأبِىهُرَيْرَةأنَّرَسُولالله .صَ. قَالَ: إذَامَاتَالإنسَانُانْقَطَعَعَمَلُهُإلاَّمِنْثَلاَثٍ:
صَدَقَةٍجَارِيَةٍاَوعِلْمٍيُنْتَفَعُبِهِ, اَووَلَدٍصَالِحٍيَدْعُولَهُ)رواهابوداود(
“Jika anak Adam meninggal, maka amalnya terputus
kecuali dari tiga perkara, sedekah jariyah (wakaf), ilmu yang bermanfaat, dan
anak shaleh yang berdoa kepadanya.” (HR Muslim).
Jadi mungkin dengan tahlilan maksudnya mungkin untuk mendoakan
orang yang meninggal dan agar dimasukkan kedalam surga. Namun itu kurang tepat
terhadap waktunya. Dalam hal ini ada juga surat yang mengatakan dalam surat Ar
Rad : 28
28. (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi
tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah
hati menjadi tenteram.
Jadi dalam shalat seolah-olah kita berhadapan dengan Allah Ta’ala.
Seolah-olah apapun yang kita lakukan dihadapan Allah Ta’ala. Olehkarena itu
kita harus memperoleh ketentraman sebagaimana orang sufi juga berbuat demikian.
Dan kepuasan hatinya itu untuk memperoleh ma’rifat ilahi. Jadi dzikir itu
sangat berperan dalam jasmani dan rohani. Bahkan dihadits lain juga dikatakan
مَثَلُالْبَیْتِالَّذِيیُذْكَرُاللهفَِیْھِوَالْبَیْتِالَّذِيلَایُذْكَرُاللهفِیْھِمَثَلُ
الْحَيِّوَالْمَیِّتِ
“Perumpamaan
rumah yang digunakan untuk zikir kepada Allah dengan rumah yang tidak digunakan
untuknya, laksana orang hidup dengan yang mati”.
Hal-hal yang demikian adalah seharunya menjadi perhatian kita. Dan
ada hadits pula
yang menyatakan bahwa shalat di awal waktu itulah yang paling afdhol,
عَنْ أُمِّ
فَرْوَةَ قَالَتْ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَىُّ الأَعْمَالِ
أَفْضَلُ قَالَ « الصَّلاَةُ فِى أَوَّلِ وَقْتِهَا »
Dari Ummu
Farwah, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya,
amalan apakah yang paling afdhol. Beliau pun menjawab, “Shalat di awal
waktunya.” (HR. Abu Daud no. 426. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih)
Artinya kalau
sudah mati kita tidak melakukan shalat melainkan kita dishalatkan saja.
Kita sering dengar adanya shalawat. Mungkin mereka bershalawat
dalam hati mereka namun mereka tidak paham. Bahkan di Filipina juga begitu.
Karena banyak orang Filipina yang belajar di Indonesia. Jadi ini sudah menjadi
popular dikalangan orang Muslim. Mungkin diseluruh dunia. Yang menyimpang atau
tidak tahu maksud mengerjakannya. Kalau tidak ada tahlilan seolah-olah kita
tidak ada tanggung jawabdengan orang yang meninggal itu. Padahal yang paling
tepat adalah saat mereka hidup. Biasanya waktu sakit dibiarkan, tidak ditengok,
tidak diobati atau tidak dikasih makan. Tapi kalu sudah meninggal,
sampai-sampai memotong kambing dan sapi. Jadi dengan acara-acara seperti inilah
yang dikatakan bid’ah.
PERTANYAAN
1.
Apa sikap
jemaat apabila diundang tahlilan?
Dalam malfuzat
jilid 4, disebutkan dan dihadits juga disebutkan bab rusamat. Bahwa ini adalah
seolah-olah diadakan. Termasuk bid’ah bila mengadakan acara tersebut.
Kadang-kadang situasi dan kondisi yang sangat menentukan dimana kita mempunyai
hubungan. Jadi dalam hal ini ada pertimbangan. Jadi mungkin kita harus
menghadiri karena kalau tidak dampaknya akan luarbiasa. Jadi itu dilihat situasi
dan kondisi. Serta kita harus memiliki taktik bahwa apabila bisa untuk tidak
mengikuti, ya kita laksanakan. Dengan tahlilan kita tidak setuju namun dengan
mengucapkan “Laa ilaaha illallah” kita setuju. Karena itu kalimat yang terbaik.
PERBEDAAN SUNNAH DAN BID’AH
Masih dalam rangka menanggapi pertanyaan tentang
acara amin (syukuran khaatam Quran), Hadhrat Masih Mau'ud a.s. lebih
lanjut menjelaskan:
“Ringkasnya, pada saat ini
orang-orang telah melakukan kesalahan sangat besar dalam hal sunnah dan
bid'ah. Mereka telah melakukan kekeliruan yang sangat berbahaya. Mereka
tidak dapat membedakan antara sunnah dan bid'ah. Mereka meninggalkan
suri-tauladan Rasulullah saw. lalu banyak sekali cara-cara yang mereka
temukan sendiri sesuai kemauan mereka. Dan hal-hal itu mereka anggap cukup
sebagai pembimbing bagi hidup mereka, padahal itu justru merupakan hal-hal yang
menyesatkan mereka.
Tatkala seseorang membedakan antara sunnah dan
bid'ah, lalu dia menerapkan sunnah, maka dia dapat terhindar dari
bahaya-bahaya. Namun orang yang tidak dapat membedakannya dan mencampur-adukkan
sunnah dengan bid'ah, maka akibat akhir yang akan dia alami tidak
bisa bagus.
Segala sesuatu yang diumumkan Allah Ta’ala dalam
Quran Syarif benar-benar jelas dan gamblang. Kemudian, Rasulullah saw.
memperagakannya dalam amal-perbuatan beliau. Kehidupan beliau saw. merupakan
contoh yang sempurna. Namun walau demikian, juga terdapat satu bagiannya yang
merupakan ijtihad. Di mana saja -- akibat kelemahannya -- seseorang itu tidak dapat menemukan suatu
contoh secara jelas di dalam Quran Syarif atau di dalam sunnah Rasulullah saw.
Maka dia hendaknya melakukan ijtihad.
Misalnya, dalam pernikahan-pernikahan, adanya makanan
yang diberikan (dihidangkan), jika tujuannya adalah untuk memperlihatkan
ketinggian dan kehebatannya pada pihak lain, berarti itu untuk pamer dan
takabu, karena itu menjadi haram. Namun, jika seseorang melakukan hal itu
semata-mata dengan niat untuk mempraktekkan "Ammaa bini'mati
rabbika fahaddiits – (adapun nikmat-nikmat anugerah Allah Ta’ala hendaknya
diberitakan - Adh-Dhuha, 12), serta untuk mengamalkan, "Mimmaa
razaqnaahum yunfiquun – (mereka membelanjakan dari apa-apa yang telah Kami
rezekikan kepada mereka – Al-Baqarah, 4), dan memberikannya untuk
menerapkan sikap baik terhadap orang-orang lain, maka hal itu tidaklah haram.
Jadi, apabila seseorang menyelenggarakan suatu acara,
dan yang menjadi tujuan di situ bukanlah untuk mengharapkan imbalan,
melainkan dengan maksud meraih keridhaan Allah Ta’ala, maka jangankan
kepada seratus orang, memberi makan kepada seratus ribu orang pun tidak
dilarang.
Hal yang menjadi dasar sebenarnya adalah niat.
Jika niat itu buruk dan fasid, maka suatu perbuatan yang dibenarkan dan
yang halal sekali pun akan menjadi haram. Ada sebuah kisah yang mashur.
Seorang suci menyelenggarakan undangan makan, dan ia menyalakan empat puluh
buah lentera. Sebagian orang berkata: "Ini foya-foya." Orang suci itu
mengatakan, "Lentera yang saya nyalakan untuk pamer, padamkanlah oleh
kalian." Lalu diupayakanlah, tetapi tidak ada satu pun yang bisa padam.
Dari itu diketahui bahwa perbuatan itu satu, dan ada
dua macam orang yang melakukannya. Yang pertama adalah yang melakukannya untuk kemewahan,
dan yang kedua adalah yang melakukannya untuk pahala. Dan perbedaan ini
timbul karena berbedanya niat mereka.
Ada tertulis, bahwa dalam perang Badar terdapat
seseorang dari kalangan Islam yang berjalan tampil ke depan dengan membusungkan
dada, padahal jelas bahwa Allah Ta’ala melarang sikap seperti itu. Ketika
Rasulullah saw. meJihatnya maka beliau. bersabda: "Sikap ini tidak disukai
oleh Allah Ta’ala, namun pada waktu ini sikap tersebut disukai oleh-Nya, sebab
saat ini adalah untuk memperlihatkan kemuliaan clan keperkasaan Islam. Dan hal
itu menimbulkan rasa gentar pada pihak musuh." Jadi, banyak sekali contoh
seperti ini, dari itu akhirnya terbukti bahwa [hadits ini] memang sangat benar, "Innamal a'maalu binniyaat. –
(sesungguhnya amal itu sesuai dengan niat).
Demikian pula, saya senantiasa merenungkan dan
terus-menerus berpikir bagaimana supaya ada suatu jalan (cara) yang darinya
tampil keagungan dan keperkasaan
Allah Ta’ala serta menimbulkan keimanan di kalangan orang-orang. Yaitu
suatu iman yang menyelamatkan
dari dosa dan mendekatkan pada
kebaikan.
Saya juga melihat bahwa karunia dan anugerah Allah
Ta’ala tidak terhitung banyaknya yang menerpa diri saya. Melakukan tahdits
(pengungkapan) tentang hal-hal itu merupakan kewajiban saya. Jadi, tatkala saya
melakukan suatu perbuatan maka yang menjadi tujuan dan niat saya
adalah untuk menzahirkan keperkasaan Allah.
Demikian pula dalam acara, amin (syukuran
khaatam Quran) ini, dikarenakan anak-anak ini merupakan sebuah Tanda
dari Allah Ta’ala, dan masing-masing mereka merupakan bukti hidup nubuatan-nubuatan Allah Ta’ala, oleh sebab
itu saya anggap wajib untuk menghargai Tanda-tanda tersebut, karena ini
merupakan bukti kenabian Rasulullah saw. dan bukti kebenaran Quran Karim
serta bukti keberadaan Wujud Allah Ta’ala itu sendiri.
Pada saat ini, ketika mereka telah menamatkan
membaca Kalaam Allah Ta’ala, maka dikatakan kepada saya untuk menuliskan
beberapa syair doa yang di dalamnya terkandung ungkapan syukur
atas karunia dan anugerah Allah Ta’ala. Seperti yang baru saja saya katakan,
saya selalu memikirkan tentang ishlah (perbaikan), saya menganggap acara
ini sangat beberkat, dan saya kira tepat bahwa dengan cara ini saya
menyampaikan tabligh.
Jadi, itulah niat dan tujuan saya.
Ketika saya telah memulai
[menggubahnya], dan syair itu
adalah: "Har ek neki ki jarh ye ittiqa hei – (akar setiap kebaikan
adalah ketakwaan), maka bait yang kedua
saya peroleh dalam bentuk ilham, "Agar ye jarh rahi to sab kuch raha
hei – (jika akar ini ada maka
segala-sesuatunya akan tetap ada."
Dari itu diketahui bahwa Allah Ta’ala juga ridha
terhadap perbuatan saya ini. Quran Karim hanya mengajarkan tentang takwa,
dan itulah yang menjadi tujuannya. Jika manusia tidak menerapkan takwa maka shalatnya juga tidak akan berguna dan
dapat menjadi kunci neraka.
Apa pun perbuatan yang dilakukan untuk pamer
di hadapan manusia, dan berapa banyakpun
kebaikan yang terkandung di dalamnya, sama-sekali tidak berguna dan
justru berbalik menjadi penyebab timbulnya azab.
Di dalam [kitab] Ihyaa 'Uluum [karya
Imam Ghazali r.a. – pent.] tertulis bahwa
fuqara (para faqir) di zaman itu
ingin menzahirkan bahwa ibadah-ibadah mereka adalah untuk Allah Ta’ala, namun
sebenarya tidak mereka lakukan untuk Allah, melainkan untuk makhluk (manusia).
Penulis buku itu menuliskan tentang kondisi
orang-orang itu yang aneh-aneh. Mengenai pakaian mereka dituliskan, “Jjika
mereka mengenakan pakaian berwarna putih maka kehormatan mereka akan berbeda.
Dan mereka juga tahu, jika pakaian-pakaian itu lain maka kehormatan mereka
juga akan lain. Oleh karena itu, untuk masuk ke dalam kalangan orang kaya,
mereka menyatakan agar memakai pakaian yang bagus, tetapi mereka beri warna.
Demikian pula, untuk memperlihatkan ibadah-ibadah
mereka, mereka telah menggunakan cara-cara yang aneh. MisaInya, untuk
menunjukkan puasa, mereka datang ke tempat seseorang ketika tiba waktu makan. Orang-orang
mendesak agar mereka turut makan, tetapi
mereka mengatakan, "Silakan makan,
saya tidak makan. Saya ada sedikit
halangan." Maksud kalimatnya adalah bahwa dia itu sedang berpuasa.
Demikianlah kondisi-kondisi orang itu yang dituliskan di situ.
Jadi, melakukan suatu perbuatan demi dunia dan untuk
kehormatan serta kemasyhuran diri sendiri, tidak bisa menjadi penyebab
timbulnya keridhaan Allah Ta’ala. Pada zaman sekarang ini begitu jugalah
kondisi dunia yang sedang berlaku. Segala sesuatu telah jatuh dari
keseimbangannya. Ibadah-ibadah serta sedekah dan sebagainya dilakukan untuk pamer.
Amal-amal salih telah digantikan oleh beberapa tradisi. Oleh
karenanya, itulah tujuan penghapusan tradisi yang dibuat-buat, yakni jika ada
suatu perbuatan atau ucapan yang bertentangan dengan firman Allah dan sabda
Rasul, maka hendaknya dihapuskan selama kita menamakan diri kita Muslim. Dan
adalah mutlak agar segenap ucapan dan perbuatan kita berada di bawah Allah
Ta’ala.
Untuk apa kita mempedulikan dunia? Suatu perbuatan
yang bertentangan dengan keridhaan Allah Ta’ala serta berlawanan dengan
Rasulullah saw. hendaknya dihapuskan dan ditinggalkan. Hal-hal yang sesuai
dengan hukum-hukum Ilahi serta sesuai pesan Rasulullah saw, hendaknya
dilakukan, sebab tulah yang dinamakan menghidupkan Sunnah. Dan hal-hal
yang tidak bertentangan dengan petunjuk
atau perintah-perintah Rasulullah saw., serta tidak berlawanan dengan
perintah-perintah Allah Ta’ala, dan tidak pula di dalamnya terdapat unsur pamer,
melainkan berupa ungkapan syukur dan tahditsni'mah, maka hal itu
tidak mengapa.” (Malfuzhat, jld. IV, h. 46-50).
2.
Ketika wafat
tidak boleh bermake up?
Jadi
ada riwayat ibu-ibu mencakar mukanya, ketika ditanya kenapa begitu, dikatakan
karena anaknya meninggal. Jadi rasul mengatakan anak saya sudah banyak yang
meninggal. Dan saya tidak seperti kamu mencakar-cakar mukalalu ibu itu menjawab bahwaHz. Masih
Mau’ud as juga ketika anaknya meninggal, beliau juga terlalu menunjukkan
kesedihan yang sangat mendalam. Sehingga tidak make up. Artinya tidak bersikap
seperti itu. Dan hakekat “Inna lillaahi wainna ilaihi raaji’uun” bahwa kematian
sudah datang paada kita atau kita sudah dipanggil olehNya. Jadi untuk
menunjukkan simpati kita pada anak kita atau yang lain, cukup untuk memanjatkan
doa kepadanya. Rapikan muka, mandi dan banyak berdoa itu jauh lebih baik. Kalau
sekedar hanya mengirim makanan mungkin dengan raut kesedihan itu masih wajar.
Mungkin juga bermaksud untuk membantu karena ada banyak tamu yang akan datang.
Jadi itu hanya kepedulian sosial agar terikat jalinan kita.
Di malfuzat
ada masalah tentang makanan-makanan. Disitu seharusnya kita yang memberikan dan
mungkin sudah kebiasaan mereka yang memberi makanan atau berkat dan mungkin itu
lebih baik kita alihkan keorang lain namun jangan sampai ketahuan dengan orang
yang memberinya. Karena akan kecewa orang tersebut pada kita. Dan karena kita
anggap ini tidak sesuai ajaran Islam. Maka seyogyanya itu tidak kita makan.
Jadi kita harus bijaksana bagaimana kita menyikapinya.
Kebaikan-kebaikan Sedekah
KetikaSeseorang Wafat
Seseorang
bertanya: "Pada waktu seseorang
wafat, orang-orang memasak roti dan makanan lainnya lalu membawanya ke kuburan. Dan setelah jenazah dikebumikan, makanan itu pun
dibagi-bagikan kepada orang-orang miskin. Apa pendapat Tuan mengenai hal
itu?" Hadhrat Masih Mau'ud as.
bersabda:
“Semua perbuatan
tergantung pada niat. Jika niatnya adalah supaya orang-orang miskin
berkumpul di tempat itu dan sedekah dapat mencapai orang yang meninggal itu --
yakni dia dikebumikan di situ, dan kepada orang-orang miskin di sekitar tempat
itu dibagi-bagikan sedekah supaya menimbulkan manfaat bagi yang meninggal dan
supaya diampuni -- maka itu suatu hal
yang baik. Namun apabila itu dilakukan atas dasar tradisi semata,
itu tidak dibenarkan. Sebab pahalanya tidak untuk orang yang meninggal, dan
tidak pula hal itu berguna bagi orang-orang yang memberikan sedekah itu.” (Malfuzat,
jld. VIII, hlm. 11).