Laman

Kamis, 16 November 2017

Tahlilan

           


             Mengenai masalah jenazah atau tahlilan memang banyak kalangan orang islam sendiri masih simpang siur artinya bagaimana tentang masalah jenazah atau tahlil. Tahlil biasanya orang mengucapkan “Laa ilaaha illallah”. Jadi mengucapkannya itu bagus, tapi penggunaannya atau tempatnya, kesempatan itu yang biasanya orang kurang paham. Sehingga kita dapati ketika ada orang yang meninggal, mereka mengadakan tahlilan. Bahkan bukan hanya sehari, namun 3, 7 atau 40 hari mengundang orang banyak dan tentu harus ada jamu dan biaya. Ada suatu cerita di Solo, ada orang yang meninggal. Intinya mereka mengadakan silaturahmi dengan warga, tetangga dan saudara. Sehingga ada kesempatan untuk bertukar pikiran untuk mengobrol. Namun acara resminya yaitu tahlilan. Di kita dikenal Syeikh Abdul Qadir Jaelani yang dikenal begitu, pada masa-masa awal bagaimana untuk menggairahkan orang-orang islam ini untuk berdzikir atau membacakan “Laa ilaaha illallah”sampai-sampai murid-muridnya dengan gerakan-gerakan boleh dikata berirama. Dan itu dibiarkan oleh Syeikh dengan asumsi atau dengan harapan mereka semakin tertarik dan orang semakin antusias bertemu, berkumpul atau mengadakan majlis. Yang dikenal majlis dzikir. Majlis tersebut dijelaskan tentang kebesaran Allah Talaa. Lama-lama tradisi ini melebihi batas, sampai-sampai tahajjud goyang/tahlilan goyang. Dan itu mengakar di Indonesia, sehingga ini dianggap biasa.
           
Tapi kalau kita perhatikan bahwa didalam hadits juga telah disampaikan oleh Rasulullah saw:                                                      
لَقِّنُوامَوْتَاكُمْلاَإِلَهَإِلاَّاللَّهُ
“Ingatkanlah (talqinkanlah) pada orang yang akan meninggal dunia di antara kalian dengan kalimat laa ilaha illallah (tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah).” (HR. Muslim, 916, dari Abu Sa’id Al-Khudri; no. 917, dari Abu Hurairah)

Jadi kita meyakinkan pada orang yang sakaratul maut untuk membaca yasin atau “Laa Ilaaha Illallah” itu sudah cukup. Dan ini yang biasa kita lakukan yang sesuai dengan amalan Rasulullah saw. Jadi kalau sudah meninggal orang itu tidak mengingat lagi. Kadang dalam sakaratul maut dengan isyarat ia mengikuti apa yang kita ucapkan. Jadi tradisi seeprti ini seharusnya dilakukan sebelum meninggal. Namun tradisi diatas sudah hal yang biasa dikalangan NU yang mungkin diperkuat dalil dari ayat atau hadits yang mereka pahami. Cuma secara garis besar dapat dipahamkan bahwa apa sebenarnya arti dzikir itu. Jadi dzikir yang terbaik adalah mengucapkan “Laa ilaaha illallah”.



جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَفْضَلُ الذِّكْرِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَفْضَلُ الدُّعَاءِ الْحَمْدُ لِلَّهِ

Jabir bin ‘Abdullah radhillahu ‘anhuma berkata; saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik dzikir adalah LAA ILAAHA ILLALLAAH (Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allâh) dan sebaik-baik doa adalah AL HAMDULILLAAHI (Segala puji bagi Allâh).” HR Tarmidzi 3305, shahih.

Kemudian kata ini kalau kita lihat dalam Al-Quran
45. Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan

Nah, sebenarnya dzikir yang terbaik itu dalam shalat, jadi mengingat Allah itu dalam keadaan shalat. Bukan ketika orang itu meninggal. Jadi ini adalah masalah waktu yang kurang tepat. Mungkin ada alasan di kalangan NU. Dan dikatakan di surat Taha ayat 14,
14. Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku.

Jadi dzikir dilakukan untuk mengingat-Ku. Atau shalat dilakukan untuk mengingat-Ku. Jadi makna ayat ini bahwa dzikir yang terbaik itu untuk mengingat Allah Ta’ala dalam keaadaan shalat. Sehingga dengan shalat kita semakin dekat dengan Allah Ta’ala. Bahkan dihadits dikatakan

مَثَلُالَّذِيْيَذْكُرُرَبَّهُوَالَّذِيْلَايَذْكُرُرَبَّهُمَثَلُالْحَيِّوَالْمَيِّتِ
“Perumpamaan orang yang berdzikir kepada Tuhannya dengan orang yang tidak berdzikir kepada Tuhannya bagaikan orang hidup dan orang mati.” (H.R. al-Bukhari dan Muslim). (121).

Dan dikatakan oleh Hz 'Umar bin Al Khoththôb rodhiyallôhu 'anhu:

حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا، وَزِنُوها قَبْلَ أَنْ تُوزَنُوا، وَتَأهَّبُوا لِلْعَرْضِ الْأَكْبَر

"Hendaklah kalian menghisab diri kalian sebelum kalian dihisab, dan hendaklah kalian menimbang diri kalian sebelum kalian ditimbang, dan bersiap-siaplah untuk hari besar ditampakkannya amal"

Atau shalat adalah amalan yang pertama kali akan dihisab. Amalan seseorang bisa dinilai baik buruknya dinilai dari shalatnya. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ العَبْدُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ فَإِنْ صَلَحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسَرَ فَإِنِ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيْضَتِهِ شَيْءٌ قَالَ الرَّبُّ تَبَارَكَ وَتَعَالَى : انَظَرُوْا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ ؟ فَيُكْمَلُ بِهَا مَا انْتَقَصَ مِنَ الفَرِيْضَةِ ثُمَّ يَكُوْنُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى ذَلِكَ ” . وَفِي رِوَايَةٍ : ” ثُمَّ الزَّكَاةُ مِثْلُ ذَلِكَ ثُمَّ تُؤْخَذُ الأَعْمَالُ حَسَبَ ذَلِك
Sesungguhnya amal hamba yang pertama kali akan dihisab pada hari kiamat adalah shalatnya. Apabila shalatnya baik, dia akan mendapatkan keberuntungan dan keselamatan. Apabila shalatnya rusak, dia akan menyesal dan merugi. Jika ada yang kurang dari shalat wajibnya, Allah Tabaroka wa Ta’ala mengatakan, ’Lihatlah apakah pada hamba tersebut memiliki amalan shalat sunnah?’ Maka shalat sunnah tersebut akan menyempurnakan shalat wajibnya yang kurang. Begitu juga amalan lainnya seperti itu.” Dalam riwayat lainnya, ”Kemudian zakat akan (diperhitungkan) seperti itu. Kemudian amalan lainnya akan dihisab seperti itu pula.” (HR. Abu Daud, Ahmad, Hakim, Baihaqi)

Maka penakarannya dzikir ilahi atau tahlil seharusnya dilaksanakan sebelum meninggal. Jadi jika kita melaksanakan dzikir pada saat meninggal, maka tidak sinkron dengan hadits Rasulullah saw dan dikatakan hadits riwayat Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Nasa’i dan Ahmad:

عَنْأبِىهُرَيْرَةأنَّرَسُولالله .صَ. قَالَ: إذَامَاتَالإنسَانُانْقَطَعَعَمَلُهُإلاَّمِنْثَلاَثٍ:
صَدَقَةٍجَارِيَةٍاَوعِلْمٍيُنْتَفَعُبِهِ, اَووَلَدٍصَالِحٍيَدْعُولَهُ)رواهابوداود(
“Jika anak Adam meninggal, maka amalnya terputus kecuali dari tiga perkara, sedekah jariyah (wakaf), ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang berdoa kepadanya.” (HR Muslim).

Jadi mungkin dengan tahlilan maksudnya mungkin untuk mendoakan orang yang meninggal dan agar dimasukkan kedalam surga. Namun itu kurang tepat terhadap waktunya. Dalam hal ini ada juga surat yang mengatakan dalam surat Ar Rad : 28
28. (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.

Jadi dalam shalat seolah-olah kita berhadapan dengan Allah Ta’ala. Seolah-olah apapun yang kita lakukan dihadapan Allah Ta’ala. Olehkarena itu kita harus memperoleh ketentraman sebagaimana orang sufi juga berbuat demikian. Dan kepuasan hatinya itu untuk memperoleh ma’rifat ilahi. Jadi dzikir itu sangat berperan dalam jasmani dan rohani. Bahkan dihadits lain juga dikatakan

مَثَلُالْبَیْتِالَّذِيیُذْكَرُاللهفَِیْھِوَالْبَیْتِالَّذِيلَایُذْكَرُاللهفِیْھِمَثَلُ
الْحَيِّوَالْمَیِّتِ

“Perumpamaan rumah yang digunakan untuk zikir kepada Allah dengan rumah yang tidak digunakan untuknya, laksana orang hidup dengan yang mati”.


Hal-hal yang demikian adalah seharunya menjadi perhatian kita. Dan ada hadits pula yang menyatakan bahwa shalat di awal waktu itulah yang paling afdhol,
عَنْ أُمِّ فَرْوَةَ قَالَتْ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَىُّ الأَعْمَالِ أَفْضَلُ قَالَ « الصَّلاَةُ فِى أَوَّلِ وَقْتِهَا »
Dari Ummu Farwah, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, amalan apakah yang paling afdhol. Beliau pun menjawab, “Shalat di awal waktunya.” (HR. Abu Daud no. 426. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Artinya kalau sudah mati kita tidak melakukan shalat melainkan kita dishalatkan saja.
           
Kita sering dengar adanya shalawat. Mungkin mereka bershalawat dalam hati mereka namun mereka tidak paham. Bahkan di Filipina juga begitu. Karena banyak orang Filipina yang belajar di Indonesia. Jadi ini sudah menjadi popular dikalangan orang Muslim. Mungkin diseluruh dunia. Yang menyimpang atau tidak tahu maksud mengerjakannya. Kalau tidak ada tahlilan seolah-olah kita tidak ada tanggung jawabdengan orang yang meninggal itu. Padahal yang paling tepat adalah saat mereka hidup. Biasanya waktu sakit dibiarkan, tidak ditengok, tidak diobati atau tidak dikasih makan. Tapi kalu sudah meninggal, sampai-sampai memotong kambing dan sapi. Jadi dengan acara-acara seperti inilah yang dikatakan bid’ah.


PERTANYAAN

1.      Apa sikap jemaat apabila diundang tahlilan?
Dalam malfuzat jilid 4, disebutkan dan dihadits juga disebutkan bab rusamat. Bahwa ini adalah seolah-olah diadakan. Termasuk bid’ah bila mengadakan acara tersebut. Kadang-kadang situasi dan kondisi yang sangat menentukan dimana kita mempunyai hubungan. Jadi dalam hal ini ada pertimbangan. Jadi mungkin kita harus menghadiri karena kalau tidak dampaknya akan luarbiasa. Jadi itu dilihat situasi dan kondisi. Serta kita harus memiliki taktik bahwa apabila bisa untuk tidak mengikuti, ya kita laksanakan. Dengan tahlilan kita tidak setuju namun dengan mengucapkan “Laa ilaaha illallah” kita setuju. Karena itu kalimat yang terbaik.

PERBEDAAN SUNNAH DAN BID’AH
       
Masih dalam rangka menanggapi pertanyaan tentang acara amin (syukuran khaatam Quran), Hadhrat Masih Mau'ud a.s. lebih lanjut menjelaskan:
        “Ringkasnya, pada saat ini orang-­orang telah melakukan kesalahan sangat besar dalam hal sunnah dan bid'ah. Mereka telah melakukan kekeliruan yang sangat berbahaya. Mereka tidak dapat membedakan antara sunnah dan bid'ah. Mereka meninggalkan suri-tauladan Rasulullah saw. lalu banyak sekali cara-cara yang mereka temukan sendiri sesuai kemauan mereka. Dan hal-hal itu mereka anggap cukup sebagai pembimbing bagi hidup mereka, padahal itu justru merupakan hal-hal yang menyesatkan mereka.
     
Tatkala seseorang membedakan antara sunnah dan bid'ah, lalu dia menerapkan sunnah, maka dia dapat terhindar dari bahaya-bahaya. Namun orang yang tidak dapat membedakannya dan mencampur-adukkan sunnah dengan bid'ah, maka akibat akhir yang akan dia alami tidak bisa bagus.
      
Segala sesuatu yang diumumkan Allah Ta’ala dalam Quran Syarif benar­-benar jelas dan gamblang. Kemudian, Rasulullah saw. memperagakannya dalam amal-perbuatan beliau. Kehidupan beliau saw. merupakan contoh yang sempurna. Namun walau demikian, juga terdapat satu bagiannya yang merupakan ijtihad. Di mana saja -- akibat kelemahannya --  seseorang itu tidak dapat menemukan suatu contoh secara jelas di dalam Quran Syarif atau di dalam sunnah Rasulullah saw. Maka dia hendaknya melakukan ijtihad.
      
Misalnya, dalam pernikahan-pernikahan, adanya makanan yang diberikan (dihidangkan), jika tujuannya adalah untuk memperlihatkan ketinggian dan kehebatannya pada pihak lain, berarti itu untuk pamer dan takabu, karena itu menjadi haram. Namun, jika seseorang melakukan hal itu semata­-mata dengan niat untuk mempraktekkan "Ammaa bini'mati rabbika fahaddiits – (adapun nikmat-nikmat anugerah Allah Ta’ala hendaknya diberitakan - Adh-Dhuha, 12), serta untuk mengamalkan, "Mimmaa razaqnaahum yunfiquun – (mereka membelanjakan dari apa-apa yang telah Kami rezekikan kepada mereka – Al-Baqarah, 4), dan memberikannya untuk menerapkan sikap baik terhadap orang-­orang lain, maka hal itu tidaklah haram.
      
Jadi, apabila seseorang menyelenggarakan suatu acara, dan yang menjadi tujuan di situ bukanlah untuk mengharapkan imbalan, melainkan dengan maksud meraih keridhaan Allah Ta’ala, maka jangankan kepada seratus orang, memberi makan kepada seratus ribu orang pun tidak dilarang.
      
Hal yang menjadi dasar sebenarnya adalah niat. Jika niat itu buruk dan fasid, maka suatu perbuatan yang dibenarkan dan yang halal sekali pun akan menjadi haram. Ada sebuah kisah yang mashur. Seorang suci menyelenggarakan undangan makan, dan ia menyalakan empat puluh buah lentera. Sebagian orang berkata: "Ini foya-foya." Orang suci itu mengatakan, "Lentera yang saya nyalakan untuk pamer, padamkanlah oleh kalian." Lalu diupayakanlah, tetapi tidak ada satu pun yang bisa padam.
     
Dari itu diketahui bahwa perbuatan itu satu, dan ada dua macam orang yang melakukannya. Yang pertama adalah yang melakukannya untuk kemewahan, dan yang kedua adalah yang melakukannya untuk pahala. Dan perbedaan ini timbul karena berbedanya niat mereka.
     
Ada tertulis, bahwa dalam perang Badar terdapat seseorang dari kalangan Islam yang berjalan tampil ke depan dengan membusungkan dada, padahal jelas bahwa Allah Ta’ala melarang sikap seperti itu. Ketika Rasulullah saw. meJihatnya maka beliau. bersabda: "Sikap ini tidak disukai oleh Allah Ta’ala, namun pada waktu ini sikap tersebut disukai oleh-Nya, sebab saat ini adalah untuk memperlihatkan kemuliaan clan keperkasaan Islam. Dan hal itu menimbulkan rasa gentar pada pihak musuh." Jadi, banyak sekali contoh seperti ini, dari itu akhirnya terbukti bahwa [hadits ini] memang sangat benar,  "Innamal a'maalu bin­niyaat. – (sesungguhnya amal itu sesuai dengan niat).
     
Demikian pula, saya senantiasa merenungkan dan terus-menerus berpikir bagaimana supaya ada suatu jalan (cara) yang darinya tampil keagungan  dan keperkasaan Allah Ta’ala serta menimbulkan keimanan di kalangan orang-orang. Yaitu suatu iman yang menyelamatkan  dari dosa dan mendekatkan  pada kebaikan.
     
Saya juga melihat bahwa karunia dan anugerah Allah Ta’ala tidak terhitung banyaknya yang menerpa diri saya. Melakukan tahdits (pengungkapan) tentang hal-hal itu merupakan kewajiban saya. Jadi, tatkala saya melakukan suatu perbuatan maka yang menjadi tujuan dan niat saya adalah untuk menzahirkan keperkasaan Allah.
     
Demikian pula dalam acara, amin (syukuran khaatam Quran) ini, dikarenakan anak-anak ini merupakan sebuah Tanda dari Allah Ta’ala, dan masing-masing mereka merupakan bukti hidup  nubuatan-nubuatan Allah Ta’ala, oleh sebab itu saya anggap wajib untuk menghargai Tanda-tanda tersebut, karena ini merupakan bukti kenabian Rasulullah saw. dan bukti kebenaran Quran Karim serta bukti keberadaan Wujud Allah Ta’ala itu sendiri.
     
Pada saat ini, ketika mereka telah  menamatkan   membaca Kalaam Allah Ta’ala, maka dikatakan kepada saya untuk menuliskan beberapa syair doa yang di dalamnya terkandung ungkapan syukur atas karunia dan anugerah Allah Ta’ala. Seperti yang baru saja saya katakan, saya selalu memikirkan tentang ishlah (perbaikan), saya menganggap acara ini sangat beberkat, dan saya kira tepat bahwa dengan cara ini saya menyampaikan tabligh.
     
Jadi, itulah niat dan tujuan saya. Ketika saya telah memulai  [menggubahnya],  dan syair itu adalah: "Har ek neki ki jarh ye ittiqa hei – (akar setiap kebaikan adalah  ketakwaan), maka bait yang kedua saya peroleh dalam bentuk ilham, "Agar ye jarh rahi to sab kuch raha hei – (jika akar ini ada  maka segala-sesuatunya akan tetap ada."
       
Dari itu diketahui bahwa Allah Ta’ala juga ridha terhadap perbuatan saya ini. Quran Karim hanya mengajarkan tentang takwa, dan itulah yang menjadi tujuannya. Jika manusia tidak menerapkan takwa  maka shalatnya juga tidak akan berguna dan dapat menjadi kunci neraka.
      
Apa pun perbuatan yang dilakukan untuk pamer di hadapan manusia,  dan berapa banyakpun kebaikan yang terkandung di dalamnya, sama-sekali tidak berguna dan justru berbalik menjadi penyebab timbulnya azab.
   
Di dalam [kitab] Ihyaa 'Uluum [karya Imam Ghazali r.a. – pent.] tertulis bahwa  fuqara (para faqir)  di zaman itu ingin menzahirkan bahwa ibadah-ibadah mereka adalah untuk Allah Ta’ala, namun sebenarya tidak mereka lakukan untuk Allah, melainkan untuk makhluk (manusia).
     
Penulis buku itu menuliskan tentang kondisi orang-orang itu yang aneh-aneh. Mengenai pakaian mereka dituliskan, “Jjika mereka mengenakan pakaian berwarna putih maka kehormatan mereka akan berbeda. Dan mereka juga tahu, jika pakaian­-pakaian itu lain maka kehormatan mereka juga akan lain. Oleh karena itu, untuk masuk ke dalam kalangan orang kaya, mereka menyatakan agar memakai pakaian yang bagus, tetapi mereka beri warna.
     
Demikian pula, untuk memperlihatkan ibadah-ibadah mereka, mereka telah menggunakan cara-cara yang aneh. MisaInya, untuk menunjukkan puasa, mereka datang ke tempat seseorang ketika tiba waktu makan. Orang-orang mendesak agar mereka  turut makan, tetapi mereka mengatakan,  "Silakan makan, saya tidak  makan. Saya ada sedikit halangan." Maksud kalimatnya adalah bahwa dia itu sedang berpuasa. Demikianlah kondisi­-kondisi orang itu yang dituliskan di situ.
     
Jadi, melakukan suatu perbuatan demi dunia dan untuk kehormatan serta kemasyhuran diri sendiri, tidak bisa menjadi penyebab timbulnya keridhaan Allah Ta’ala. Pada zaman sekarang ini begitu jugalah kondisi dunia yang sedang berlaku. Segala sesuatu telah jatuh dari keseimbangannya. Ibadah-­ibadah serta sedekah dan sebagainya dilakukan untuk pamer. Amal-amal salih telah digantikan oleh beberapa tradisi. Oleh karenanya, itulah tujuan penghapusan tradisi yang dibuat-buat, yakni jika ada suatu perbuatan atau ucapan yang bertentangan dengan firman Allah dan sabda Rasul, maka hendaknya dihapuskan selama kita menamakan diri kita Muslim. Dan adalah mutlak agar segenap ucapan dan perbuatan kita berada di bawah Allah Ta’ala.
     
Untuk apa kita mempedulikan dunia? Suatu perbuatan yang bertentangan dengan keridhaan Allah Ta’ala serta berlawanan dengan Rasulullah saw. hendaknya dihapuskan dan ditinggalkan. Hal-hal yang sesuai dengan hukum-hukum Ilahi serta sesuai pesan Rasulullah saw, hendaknya dilakukan, sebab tulah yang dinamakan menghidupkan Sunnah. Dan hal-hal yang tidak bertentangan dengan petunjuk  atau perintah-perintah Rasulullah saw., serta tidak berlawanan dengan perintah-perintah Allah Ta’ala, dan tidak pula di dalamnya terdapat unsur pamer, melainkan berupa ungkapan syukur dan tahditsni'mah, maka hal itu tidak mengapa.”  (Malfuzhat,   jld. IV, h. 46-50).

2.      Ketika wafat tidak boleh bermake up?

Jadi ada riwayat ibu-ibu mencakar mukanya, ketika ditanya kenapa begitu, dikatakan karena anaknya meninggal. Jadi rasul mengatakan anak saya sudah banyak yang meninggal. Dan saya tidak seperti kamu mencakar-cakar mukalalu ibu itu menjawab bahwaHz. Masih Mau’ud as juga ketika anaknya meninggal, beliau juga terlalu menunjukkan kesedihan yang sangat mendalam. Sehingga tidak make up. Artinya tidak bersikap seperti itu. Dan hakekat “Inna lillaahi wainna ilaihi raaji’uun” bahwa kematian sudah datang paada kita atau kita sudah dipanggil olehNya. Jadi untuk menunjukkan simpati kita pada anak kita atau yang lain, cukup untuk memanjatkan doa kepadanya. Rapikan muka, mandi dan banyak berdoa itu jauh lebih baik. Kalau sekedar hanya mengirim makanan mungkin dengan raut kesedihan itu masih wajar. Mungkin juga bermaksud untuk membantu karena ada banyak tamu yang akan datang. Jadi itu hanya kepedulian sosial agar terikat jalinan kita.
           
Di malfuzat ada masalah tentang makanan-makanan. Disitu seharusnya kita yang memberikan dan mungkin sudah kebiasaan mereka yang memberi makanan atau berkat dan mungkin itu lebih baik kita alihkan keorang lain namun jangan sampai ketahuan dengan orang yang memberinya. Karena akan kecewa orang tersebut pada kita. Dan karena kita anggap ini tidak sesuai ajaran Islam. Maka seyogyanya itu tidak kita makan. Jadi kita harus bijaksana bagaimana kita menyikapinya.

Kebaikan-kebaikan  Sedekah KetikaSeseorang Wafat

Seseorang bertanya: "Pada waktu seseorang  wafat, orang-orang memasak roti dan makanan lainnya lalu membawanya ke kuburan. Dan setelah jenazah dikebumikan, makanan itu pun dibagi-bagikan kepada orang-orang miskin. Apa pendapat Tuan mengenai hal itu?" Hadhrat  Masih Mau'ud as. bersabda:
       “Semua perbuatan tergantung pada niat. Jika niatnya adalah supaya orang­-orang miskin berkumpul di tempat itu dan sedekah dapat mencapai orang yang meninggal itu -- yakni dia dikebumikan di situ, dan kepada orang-orang miskin di sekitar tempat itu dibagi-bagikan sedekah supaya menimbulkan manfaat bagi yang meninggal dan supaya diampuni  -- maka itu suatu hal yang baik. Namun apabila itu dilakukan atas dasar tradisi semata, itu tidak dibenarkan. Sebab pahalanya tidak untuk orang yang meninggal, dan tidak pula hal itu berguna bagi orang-orang yang memberikan sedekah itu.” (Malfuzat, jld. VIII, hlm. 11).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

JAMAI Silaturahim ke GAI (Gerakan Ahmadiyah Indonesia)

Pada tanggal 22 Oktober 2017 pukul 10.00 WIB kami dari Forum Kajian Ilmu Hadits dan Fiqih mengadakan silaturahmi ke Gerakan Ahmadiyah Indon...